Jumat, 15 Januari 2010

Apa ini bentuk penjajahan baru ? ? ?

Apa ini bentuk penjajahan baru ? ? ?

Mulai 1 Januari 2010, kita akan mulai mematuhi perjanjian FTA tentang Perdagangan Bebas antara China dan ASEAN. Menurut Jaya Suprana, Perdagangan Bebas merupakan slogan ekonomi era globalisasi. Dimana, slogan dalam bentuk ini merupakan senjata bagi para negara-negara penghasil ekspor yang merasa komoditas ekspor mereka terhalang oleh pagar-pagar yang melindungi pasar dalam negeri negara-negara importir.
Sedangkan bagi para konsumen sendiri, khususnya konsumen di Indonesia Perdagangan Bebas memiliki keuntungan tersendiri, seperti contohnya: produk-produk dari hasil Perdagangan Bebas ini jauh lebih murah ketimbang harga yang di tawarkan produsen dalam negeri, selain itu juga kualitasnya hanya beda tipis dengan produk dalam negeri.
Alih-alih mendapat produk-produk murah dari negri Tirai Bambu ini, justru dampak jangka panjang yang akan di hadapi bangsa ini jauh sangat mengkhawatirkan bahkan, cenderung berbahaya. Mengapa ? karena, pada hakikatnya Perdagangan Bebas potensial menghancurkan industri dalam negeri yang tidak mampu bersaing melawan harga produk luar negeri. Padahal, fenomena ini tidak lebihnya sekadar kedok bentuk imperialisme dan kolonialisme ekonomi.
Perdagangan Bebas hanya mengambil peran dari imperialisme dan kolonialisme(perang) yang dulu memakai kontak senjata atau ledakan bom yang dinilai tidak berperikemanusiaan dan melanggar hak asasi manusia. Kini, negara-negara tersebut menjajah dengan cara yang lebih manusiawi, namun terkesan membunuh secara perlahan yaitu menjajah secara ekonomi berkedok Perdagangan Bebas.
Republik Rakyat China memaksakan kesepakatan perdagangan bebas (FTA) ini dengan negara-negara ASEAN yang ditandatangani bersama pada tahun 2002 dan baru mulai diterapkan pada 1 Januari 2010. Reaksi yang ditunjukkan para usahawan dan industri adalah berontak, mereka berusaha melawan perjanjian yang terlanjur disepakati antarpemerintah tersebut. Bahkan, asosiasi industri baja sudah sibuk memaparkan fakta bahwa di masa masih dibebani pajak impor 5% saja ekspor baja China ke Indonesia sudah melonjak hampir 300% dari sekedar 500.000 ton per tahun menjadi hampir 1.3 juta ton per tahun pada 2008.
Dengan banyaknya fenomena yang mengerikan yang akan dihadapi para usahawan dan industri ini. Tidak ada salahnya jika pemerintah menolong bahkan memberikan perlindungan agar usahawan dan industri tidak bangkrut dan mampu bersaing oleh produk-produk dari China tersebut dan tidak terkesan mati mendadak.

HASIL AKHIR KTT “KOPENHAGEN”

HASIL AKHIR KTT “KOPENHAGEN”

Mulai tanggal 7-18 Desember 2009 yang lalu, PBB mengadakan konferensi Perubahan Iklim dunia yang diselenggarakan di Kopenhagen, Denmark. Di dalam konferensi ini mempunyai tujuan untuk membahas, dan mencapai kesepakatan tentang Perubahan Iklim yang semakin mengerikan di rasakan oleh seluruh penduduk Bumi di dunia ini. Misalnya baru-baru ini kita membaca harian yang mempunyai judul “Cuaca Ekstrem Bencana 2009”, dimana dari semua bencana yang terjadi selama tahun 2009, lebih dari tiga perempatnya terkait dengan cuaca ekstrem. Ada juga seorang Antonio Gutteres, Komisioner Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) yang menulis “Gempa Bumi, siklon, tsunami, banjir, dan tanah longsor merupakan bencana alam yang frekuensinya lipat dua dalam dua dekade terakhir” .
Menurut Gutteres, selain frekuensinya meningkat, bertambah intensitasnya, meningkat daya penghancuran serta ancamannya terhadap kehidupan manusia. Tahun 2008 saja, sekitar 36 juta orang tiba-tiba harus tergusur akibat fenomena alam ini. Meskipun angka ini sudah amat besar, itu masih amat kecil jika dibandingkan dengan jumlah orang yang keamanannya, juga sumber penghidupannya, terus-menerus di rongrong oleh konsekuensi jangka panjang perubahan iklim. Konsekuensi ini adalah kekeringan, pola curah hujan yang semakin sulit diramalkan, degradasi dan desertifikasi (Penggurunan) tanah, erosi pantai, dan salinifikasi (makin asinnya air tanah).
Munculnya fenomena-fenomena seperti yang di tulis di alinea sebelumnya inilah, 110 kepala negara/pemerintahan sepakat melakukan kesepakatan untuk menekan emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Tetapi, dalam konferensi ini juga tak dapat dihindari kendala-kendala klise, seperti pada hari Senin, 14 Desember 2009 di Kopenhagen masih terasa adanya jurang dalam yang memisahkan tuntutan negara berkembang akan pendanaan adaptasi dengan sikap negara-negara maju yang terkesan menghindar dari komitmen untuk mengurangi emisinya.
Konferensi yang berjalan alot tersebut, pada akhirnya sekjen PBB yang berasal dari Korea Selatan Ban Ki-Moon, telah menyatakan KTT Kopenhagen sebagai sukses, walaupun banyak kalangan yang menilai bahwa KTT itu gagal.
Tanggapan itu dinyatakan setelah Inggris menyalahkan China, Sudan, dan beberapa negara Amerika Latin yang terkesan merintangi persetujuan mengenai penentuan target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Menurut Sekjen PBB, kesepakatan itu mengharuskan negara-negara di dunia berusaha membatasi kenaikan suhu global menjadi dibawah dua celcius.
Perjanjian disepakati pada menit-menit terakhir oleh satu kelompok kecil yang terdiri para pemimpin Amerika Serikat, China, India, Brazilia, Afrika Selatan dan negara-negar besar Eropa, setelah semakin jelas bahwa KTT terancam gagal. Perjanjian menetapkan komitmen untuk membatasi pemanasan global sampai dua derajat celcius(3,6 Fahrenheit), namun tidak mengurai tahapan-tahapan penting, target emisi global untuk 2020 atau 2050.
Sehari setelah kesepakatan itu dicapai, China yang diwakili oleh Menteri Luar Negerinya Yang Jiechi menyambut positif hasil perundingan perubahan iklim tersebut. China, sebagai negara penghasil polusi karbon terbesar dunia, selalu mengatakan bahwa negara-negara kaya harus berada di depan dalam memberikan komitmen target pengurangan emisi, serta memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara berkembang yang sedang berperang menghadapi perubahan iklim.
Persetujuan Kopenhagen menetapkan sasaran untuk menggalang secara bersama dana sebesar 100 miliar dolar bagi negara-negara berkembang pada 2020. China juga berikrar akan mengurangi emisi karbonnya 40-45 persen per satuan produk domestik bruto pada tahun 2020, dari tingkat 2005.
Peran Indonesia
Peran negara kita dalam konferensi ini adalah sebagai fasilitator negosiasi membantu Presiden COP-15 dan pembahasan pembicaraan yang menyangkut masa depan Protokol Kyoto. Dimana hal ini kita diwakili oleh Rachmat Witoelar dan Menteri Lingkungan Hidup Jerman Norbert Roettgen. Terpilihnya Rachmat, tidak terlepas dari perannya sebagai Presiden Pertemuan Para pihak ke-13 (COP-13) di Bali, merupakan pengakuan terhadap kesuksesan Indonesia mendorong kesepakatan Peta Jalan Bali yang saat ini menjadi panduan negosiasi.
Menurut Rachmat, “Angka target penurunan emisi negara maju merupakan persoalan sensitif”. Indonesia dan negara berkembang dalam kelompok G-77 tetap berupaya mendorong negara-negara maju untuk mewajibkan mengurangi emisi. Penolakan usul negara maju, seperti di tegaskan oleh kelompok Afrika, karena ada potensi pelemahan komitmen negara maju untuk menurunkan emisi dalam jumlah besar. Dengan adanya Protokol Kyoto adalah satu-satunya kesepakatan global yang mengikat negara maju menurunkan emisi dan memberikan bantuan adaptasi akan dampak perubahan iklim kepada negara berkembang.
Uni Eropa dan Amerika serikat mengakui, bahwa mereka ditempatkan sebagai pengemisi gas rumah kaca di atmosfer. Amerika serikat tetap bersikukuh terhadap posisinya, untuk menurunkan emisinya sebesar 17 persen tahun 2020 dari level 2005 atau turun 3 persen dari level emisi 1990. Menurut negara-negara kecil hal itu masih dianggap terlalu kecil.
Inspirasi : Kompas & google.com