Di Bali tiada hari tanpa berkesenian. Lebih-lebih dalam kehidupan keagamaan. Tak ada ritual agama Hindu di pulau ini yang dianggap sempurna tanpa greget dan penampilan nilai-nilai seni. Ritual keagamaan mengkondisikan dan membangkitkan kehadiran beragam ungkapan seni tontonan. Hal ini seperti yang dapat disimak pada rangkaian “Karya Agung Mamungkah, Mupuk Pedagingan Lan Nganteg Linggih” di Pura Dalem Gede Sukawati, Gianyar, pada Oktober tahun ini.
Selain penyajian seni wali dan babali yang berkaitan dengan tahap-tahap prosesi upacara keagamaan, selama 11 hari, 5-16 Oktober, juga digelar puspa warna seni balih-balihan. Setiap malam, masyarakat penonton akan dapat menyimak satu hingga tiga pementasan, dari pertunjukkan yang kental klasik hingga seni pentas yang bergreget kreasi. Semua dapat dinikmati bebas dengan pakaian adat Bali tentunya.
Pergelaran wayang kulit tampak begitu dominan. Tak kurang dari tujuh dalang akan berkisah dan tampil memberi hiburan, tontonan, dan tuntunan. Sukawati sebagai lumbung seni pewayangan Bali memang memiliki seniman-seniman pedalangan yang tangguh dan kreatif. Selain itu, penonton juga dapat menikmati wayang Calon Arang (Wayan Mayun), wayang Tantri (Wayan Wija), dan wayang Babad (Ketut Sudiana). Seorang dalang cilik setempat, Bagus Natya, juga akan unjuk kebolehan pada Oktober.
Selain eksis dengan wayang kulitnya, Sukawati mewarisi drama tari Parwa, seni pertunjukkan wayang orang yang bersumber dari cerita Mahabrata. Dengan penuh semangat berkaitan dengan karya agung di Pura Dalem Gede tersebut, dibangkitkan kembali teater Parwa oleh sebuah komunitas seniman di Banjar Babakan, Sukawati. Seni drama tari klasik yang didukung seniman muda berbakat ini akan dapat disimak pada 11 Oktober. Penampilan grup Parwa Punarbawa Sukawati ini merupakan tontonan langka, sebab bentuk seni pertunjukkan ini kian merginal ditengah masyarakat Bali masa kini.
Legong sebagai sebuah tarian utama juga hadir dipanggung halaman luar Pura Dalem Gede Sukawati itu. Secara historis, Sukawati memang dikenal sebagai tempat lahir dan pengembangan tari Legong. Anak Made Karna adalah raja Sukawati yang dikenal sebagai pengayom Legong.
Trio seniman Legong setempat, Anak Agung Rai Perit, I Made Duaja, dan Dewa Blacing, pada tahun 1920-an dikenal sebagai guru tari Legong yang banyak didatangi para calon penari Legong dari seluruh Bali. Oleh karena itu, dalam momentum ini, Institut Seni Indonesia (LSI) Denpasar akan menampilkan Legong Lasem, Legong Kuntul, Legong Bapang, Legong Kuntir, dan beberapa bentuk tari klasik lainnya pada Oktober ini. Tari Legong belakangan sedang melolong minta perhatian para pendukungnya.
1. Contoh paragraf deduktif:
• Di Bali tiada hari tanpa berkesenian.
• Pergelaran wayang kulit tampak begitu dominan.
• Legong sebagai sebuah tarian utama juga hadir dipanggung halaman luar Pura Dalem Gede Sukawati itu.
2. Contoh paragraf induktif:
• Penampilan grup Parwa Punarbawa Sukawati ini merupakan tontonan langka, sebab bentuk seni pertunjukkan ini kian merginal ditengah masyarakat Bali masa kini.
• Tari Legong belakangan sedang melolong minta perhatian para pendukungnya.
sumber: buku bahasa indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar